Menggali Kearifan Apitan di Paningkaban: Ritual Syukur yang Mengakhiri Kebodohan dan Mengendalikan Nafsu

Libur Bulan Ini

  • Loading...
Banner

Prakiraan Cuaca

Memuat data...

Menggali Kearifan Apitan di Paningkaban: Ritual Syukur yang Mengakhiri Kebodohan dan Mengendalikan Nafsu Pasang Disini

Menggali Kearifan Apitan di Paningkaban: Ritual Syukur yang Mengakhiri Kebodohan dan Mengendalikan Nafsu

Jauh dari hiruk pikuk modernitas, masyarakat Dusun Sawangan, Desa Paningkaban, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, memegang teguh sebuah tradisi leluhur yang sarat akan ajaran hidup. Ritual adat Apitan, atau yang lebih dikenal sebagai Sedekah Bumi, bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan sebuah laku nyata dan gudang pasemon (simbol) yang mengajarkan kearifan mendalam. Sebuah pelaksanaan pada Kamis, 3 September 2015 silam, menjadi cerminan bagaimana tradisi ini hidup dan dihidupi, menawarkan pelajaran tentang perjuangan mengakhiri kebodohan dan pengendalian diri.

Tradisi Apitan di Desa Paningkaban adalah manifestasi dari cara orang Jawa dalam mewariskan pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan. Bukan melalui diktat atau ceramah formal, melainkan melalui partisipasi aktif dalam serangkaian tindakan simbolik yang kaya makna. Pada hari itu, warga tidak hanya menyisihkan sebagian rezeki mereka, tetapi juga meluangkan waktu dan tenaga untuk terlibat langsung dalam setiap prosesi. Puncak dari ritual fisik adalah penyembelihan seekor kerbau, yang pada tahun 2015 itu bernilai sekitar Rp 17 juta. Dagingnya kemudian dimasak bersama-sama oleh para warga di dapur umum darurat yang didirikan di lapangan dusun, sebelum akhirnya dibagikan kepada ratusan kepala keluarga.

Kepala Desa Paningkaban saat itu, Sukarmo, menjelaskan bahwa inti dari penyembelihan kerbau dalam tradisi Apitan memiliki makna filosofis yang mendalam. "Sebenarnya, penyembelihan kerbau ini adalah simbol dari upaya kolektif kita untuk mengakhiri riwayat segala bentuk kebodohan dalam diri dan masyarakat. Lebih dari itu, ada pesan kuat agar kita semua mampu mengendalikan nafsu hewani yang seringkali mendominasi dan menguasai berbagai aspek kehidupan kita," papar Sukarmo.

Rangkaian Prosesi Adat: Dari Kurban Hingga Harmoni Semesta

Pelaksanaan Apitan melibatkan partisipasi aktif dari sedikitnya 700 warga dusun. Rangkaian ritual tidak hanya berpusat pada penyembelihan hewan kurban. Jauh sebelum itu, para warga melaksanakan kegiatan bersih desa dan ziarah kubur ke makam para leluhur serta tokoh masyarakat setempat. Ini adalah wujud penghormatan kepada para pendahulu dan pengingat akan akar serta kesinambungan hidup.

Setelah hewan kerbau disembelih, sebuah tradisi yang menurut Sukarmo telah berjalan rutin selama enam tahun pada waktu itu, menggantikan penyembelihan kambing pada tahun-sebelumnya, semangat gotong royong begitu kental terasa. Ibu-ibu dan bapak-bapak bahu-membahu di dapur umum, menyiapkan hidangan istimewa dari daging kurban. Asap mengepul dari tungku-tungku darurat, aroma masakan berbaur dengan suara gelak tawa dan perbincangan hangat, menciptakan suasana kebersamaan yang hakiki.

Usai hidangan matang, seluruh warga berkumpul untuk tasyakuran dan doa bersama yang dilaksanakan serentak di lingkungan desa. Daging yang telah dimasak kemudian dibagikan secara merata, memastikan setiap keluarga dapat merasakan berkah dari sedekah bumi tersebut. "Inti dari keseluruhan kegiatan ini adalah menjadi wujud doa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya. Sekaligus, ini adalah cara kami berterima kasih kepada alam, khususnya bumi, yang telah memberikan penghidupan," imbuh Sukarmo.

Keindahan tradisi Apitan semakin lengkap dengan hadirnya unsur kesenian lokal. Kelompok seni kenthong dan calung Dusun Sawangan turut mengambil peran penting. Selama prosesi memasak daging kerbau, alunan merdu calung dan tembang-tembang Jawa yang sarat akan pitutur luhur setia mengiringi, menambah khidmat dan semarak suasana. Namun, ketika tiba saatnya doa bersama dilaksanakan, alunan musik tradisional tersebut berhenti sejenak, dan para senimannya pun larut dalam kekhusyukan, turut memanjatkan doa memohon keselamatan dan keberkahan.

Simbiose Adat Jawa dan Ajaran Islam dalam Bingkai Nusantara

Tradisi Apitan di Paningkaban adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal adat Jawa dapat bersanding dan bersinergi harmonis dengan ajaran Islam. Sudiarjo, salah seorang tokoh masyarakat yang terlibat, memberikan pandangan menarik mengenai perpaduan ini. "Dalam pemahaman kami, Jawa itu diibaratkan warna merah, yang melambangkan sesuatu yang awal, asli, atau asal-usul. Sementara Islam, kami ibaratkan sebagai warna putih, simbol kesucian agama. Maka, merah putih ini sejatinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di bumi Nusantara ini," katanya.

Pandangan ini diperkuat oleh Kiai Zulfa Muhammad Nur, pengasuh Pondok Pesantren Wungu, Darmakradenan, yang turut hadir dan memberikan perspektif keagamaan dalam acara tersebut. Menurutnya, Apitan adalah bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakat Jawa, khususnya yang memeluk agama Islam.

"Ini (Apitan) menjadi bagian dari pengalaman dan karakteristik Islam khas Nusantara. Meskipun ada ritual adat yang kental, substansi keagamaan berupa pemanjatan doa-doa keselamatan dan permohonan ampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa masih sangat mendominasi dan menjadi inti dari seluruh rangkaian acara," jelas Kiai Zulfa. Beliau menekankan bahwa praktik-praktik semacam ini menunjukkan keluwesan Islam dalam berakulturasi dengan budaya lokal tanpa menghilangkan esensi ajaran tauhid.

Lebih dari Sekadar Ritual: Pelajaran Abadi dari Apitan

Ritual Apitan di Dusun Sawangan, Desa Paningkaban, lebih dari sekadar tradisi tahunan. Ia adalah sebuah universitas kehidupan tempat masyarakat belajar tentang makna pengorbanan, pentingnya pengendalian diri dari "kebodohan" – yang dapat diartikan sebagai kejahilan, ketidaktahuan akan nilai-nilai luhur, atau bahkan ketidakmampuan melihat kebenaran serta "nafsu hewani" yang merujuk pada keinginan duniawi yang tak terkendali.

Dalam setiap tahapannya, mulai dari niat tulus untuk bersedekah, partisipasi dalam penyembelihan dan memasak, hingga keikhlasan berbagi dan berdoa bersama, terkandung pelajaran tentang gotong royong, solidaritas sosial, kepedulian terhadap sesama, dan rasa syukur yang mendalam. Ini adalah "laku nyata" yang membentuk karakter dan memperkuat ikatan komunal.

Pasemon atau simbolisme yang terkandung dalam penyembelihan kerbau, hewan besar yang melambangkan kekuatan dan juga potensi kebodohan atau keliaran jika tidak diarahkan menjadi pengingat visual yang kuat bagi seluruh masyarakat. Dengan "mengakhiri riwayat" kerbau tersebut secara ritual, masyarakat secara simbolis berkomitmen untuk mengakhiri aspek-aspek negatif dalam diri dan komunitas mereka.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang tak terhindarkan, tradisi seperti Apitan di Paningkaban menjadi oase spiritual dan benteng budaya. Ia tidak hanya melestarikan warisan leluhur tetapi juga terus menawarkan relevansi nilai bagi generasi masa kini dan mendatang. Selama masyarakatnya terus menghidupi dan memaknai setiap simbol dan laku dalam Apitan, selama itu pula ajaran tentang perjuangan melawan kebodohan dan pengendalian diri akan terus bergema, merajut harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.